Tulisan Terbaru

Info Ringan

Tutorial Bisnis Internet

Ekonomi Bisnis

Rabu, 23 Desember 2009

Gila Aja, Anak SD Disuruh Berbaris di Jalan Sambut Pejabat

Rabu, 23 Desember 2009
0 komentar
Ratusan siswa Sekolah Dasar (SD) di Kota Payakumbuh dikerahkan menyambut kedatangan para pejabat negara dalam rangka peringatan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional (HKSN) tahun 2009, Selasa (22/12) lalu. Anak SD yang masih bocah itu disuruh berbaris berjejer di sepanjang jalan yang akan dilalui para pejabat itu.

Mereka disuruh berpanas-panas di bawah terik matahari. Kalau seandainya hujan turun, maka berbasah-basahlah mereka. Mungkin anak SD itu telah menunggu bermenit-menit atau berjam-jam, sementara yang ditunggu entah kapan lewatnya. Kalau ternyata pejabat yang tidak ditunggu itu tidak lewat jalan itu, maka sungguh apeslah nasib anak-anak SD yang masih ingusan itu. Kalaupun lewat, lewatnya paling hanya dua menit sementara menunggu sampai berjam-jam.

Padahal, para siswa itu sedang libur. Mereka baru saja usai menerima rapor hasil belajar semester 1. Seharusnya, anak-anak SD itu tidak berada di pinggir jalan berpanas-panas ria karena pada saat libur ini mereka seharusnya berada di rumah bermain-main dan bercengkerama bersama kakak, adik, atau orangtua mereka.

Namun, anak-anak SD itu tentu tidak bisa menolak perintah guru mereka. Apalagi, guru mereka tentu juga ‘diperintah’ oleh pejabat di atasnya. Mungkin yang ada dalam pikiran para pejabat daerah itu, para pejabat negara akan senang melihat para pelajar SD itu berpanas-panas di pinggir jalan sambil melambai-lambaikan bendera merah putih. Begitulah.

Kondisi itu mengingatkan kita pada era orde baru. Setiap ada pejabat negara yang datang ke daerah, para pelajar adalah termasuk yang paling ‘marasai’. Mereka disuruh berbaris di jalan sambil membawa bendera merah putih buatan dari kertas. Kalau pejabat itu lewat, mereka diharuskan melambai-lambaikan bendera yang dimodali sendiri oleh para pelajar itu.

Sekarang, tampaknya tradisi ala orba itu kembali marak di era pascareformasi ini. Patut pula kita mempertanyakan, apakah hal ini bisa disebut sebuah kemunduran atau malah tradisi bagus era orba yang tampaknya perlu dimunculkan kembali? Padahal, dengan semangat reformasi, hal-hal yang tujuannya ‘mengambil muka’ seperti ini sebenarnya perlu dikikis habis. Apalagi kalau tujuannya hanya ABS alias ‘Asal Bapak Senang’. Biarlah bersusah-susah. Biarlah anak SD itu repot-repot dan berpanas-panas, toh mereka juga tidak akan protes.

Sepertinya pula, hal ini telah menjadi standar operasional penyambutan pejabat, apalagi kalau pejabat itu adalah pejabat negara dari pusat. Misalnya saja, para Ketua RT menyiapkan warganya pasang umbul-umbul, kemudian dinas kebersihan disuruh rajin-rajin memunguti sampah dan memotong rumput liar di pinggir jalan, dan para pelajar belambai-lambai di pinggir jalan. Tidak apalah kalau si pejabat membalas lambaian itu, tapi kalau pejabat malah asik beradem-adem di dalam mobil ber-AC sementara pelajar berpanas-panas di pinggir jalan, apa tidak kasihan kita?

Pengerahan ratusan pelajar SD yang amsih bocah itu patut dipertanyakan dan diselidiki. Siapa yang memerintahkan mereka untuk berjejer di pinggir jalan itu. Pasalnya, di era reformasi sekarang ini sudah tidak pantas lagi mengerahkan pelajar dengan berbaris di pinggir jalan untuk menyambut pejabat.

Kalau menyambut dengan acara kesenian dan tradisi adat, hal itu masih bisa diterima. Kalau dijajarkan di pinggir jalan sudah bukan zamannya lagi. Dinas Pendidikan harus mempertimbangkan hal seperti ini. Jangan hanya membuat kebijakan yang berkenaan dengan kurikulum saja, namun juga harus bisa menempatkan rasa pareso mereka terhadap anak-anak itu.

Lama-lama timbul rasa kasihan kita terhadap anak SD negeri ini, selalu terpaksa mau dimobilisasi sama orang dewasa untuk sesuatu yang tidak jelas. Baru kemarin anak SD disuruh berdemo ke kantor Guebrnur yang dikerahkan oleh sebuah organisasi tanggap bencana di provinsi ini, sekarang mereka disuruh pula berjejer di jalan menyambut pejabat. *

read more

HKSN 09: Masih Adakah Kesetiakawanan Itu?

1 komentar
Sebagai warga Sumatera Barat kita patut bersyukur ‘perhelatan besar’ tingkat nasional berhasil digelar dengan cukup sukses di negeri ini, Selasa (22/12) kemarin. Perhelatan itu adalah peringatan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional (HKSN) tahun 2009 yang dipusatkan di Kota ‘gelamai’ Payakumbuh.

HKSN sendiri dapat dimaknai sebagai suatu hari dimana masing-masing warga di republik ini merenungi kembali semangat kebersamaan tanpa ada garis pemisah. Semua sama baik tua muda, berbagai suku, ras, golongan, dan agama saling berpelukan secara bathin dalam satu simpulan ikatan kuat semangat nasionalisme dalam membangun bangsa ini.

Tidak salah jika HKSN ini diperingati di Sumbar karena di negeri 1000 gonjong ini sebenarnya prinsip kesetiakawanan itu telah tertanam dalam diri masyarakatnya sejak dahulu kala. Kita memiliki falsafah dan prinsip dalam adat untuk seiya sekata, senasib sepenanggungan, salapiak sakatiduran, dan raso pareso. Semuanya itu tak lain adalah pengejawantahan dari makna kesetiakawanan sosial yang diperingati kemarin.

Oleh karena itu, ada baiknya kita kembali menginap-renungi semangat kesetiakawanan sosial itu yang sebenarnya bersanding dengan tradisi adat dan budaya masyarakat Sumatera Barat itu sendiri. Kita mesti berkaca sudah sejauh mana semangat itu kita maknai dan kita laksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Alangkah malunya jika ternyata gembar-gembor kesetiakawanan sosial itu hanya sebatas retorika belaka tanpa kita tanamkan dalam pribadi kita masing-masing.

Dalam peringatan HKSN kemarin, Menko Kesra Agung Laksono menyebutkan bahwa dengan nilai-nilai kesetiakawanan sosial ini akan dapat menumbuhkan rasa saling menghargai, menghormati dan saling asah dan asuh. Yang kuat membantu yang lemah, yang besar menyayangi yang kecil.

Namun sudahkah demikian kenyataannya? Kalau boleh dikata, kalimat itu hanyalah manis diucap dan didengar saja. Sebab dari waktu ke waktu apa yang kita sebut dengan kesetiakawanan itu sebenarnya sudah mulai pudar ditelan zaman. Layangkan saja pandangan kita ke perkantoran. Taka jarang para karyawan saling menjatuhkan, saling tikam, saling salah menyalahkan, saling ‘cido’. Parahnya lagi, hal itu dilakukan hanya untuk menaikkan ‘image’-nya di hadapan si bos besar.

Begitu juga dalam skala yang lebih besar. Masing-masing elit politis dari tingkatan terbawah hingga ke tingkat yang paling tinggi saling serang demi mengejar popularitas pribadi di mata rakyat. Apalagi jika hal itu mereka lakaukan demi mengejar ‘posisi enak’ yang bisa menaikkan gengsinya. Sukur kalau mereka masih punya nurani memikirkan rakyat dan bangsa ini, kalau tidak ‘celaka dua belas’-lah negeri ini.

Ada pula yang namanya ‘kesetiakawanan dalam karung’. Orang lain tak tahu bagaimana rupa kesetiakawanan itu, hanya mereka tertentu saja yang tahu bentuknya. Mereka saling berkawan namun apa yang mereka ‘perkawankan’ itu justru menyusahkan orang lain. ‘Partner ini crime’ kata orang negeri seberang. Berkawan dalam kejahatan, itulah namanya. Jelas hal ini telah menciderai makna kesetiakawanan yang sama-sama kita peringati kemarin.

Oleh karena itu, dengan semangat HKSN tahun 2009 ini marilah sama-sama kita jadikan hari esok lebih baik dari sekarang, dengan dilandasi dengan semangat Kesetiakawan Sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Semangat inilah yang telah menjadi insprirasi anak bangsa serta semua pihak dalam perjuangan kemerdekaan dan memajukan Indonesia yang lebih baik hari ini dan untuk masa datang.

Semangat ini tentu juga berlaku dalam pelaksanaan penanggulangan bencana untuk menumbuhkan kebangkitan Sumatera Barat pasca gempa 30 September 2009 menuju pembangunan Sumbar yang lebih baik lagi di masa-masa mendatang. Berbagai persoalan dan tantangan yang terbentang didepan mata kita saat ini, akan terasa mudah dilalui, jika semangat kesetiakawanan sosial ini dapat kita kobarkan pada setiap diri anak bangsa di daerah ini. *

read more

Hari Ibu, Hanya Seremonial dan Sia-sia Belaka

0 komentar
Seperti udara... kasih yang engkau berikan
Tak mampu ku membalas...ibu


Dua penggal kalimat di atas adalah petikan dari lirik lagu karya Iwan Fals yang berjudul ‘Ibu’. Iwan Fals yang merupakan legenda hidup dalam dunia musik balada di negeri ini bahkan sengaja menciptakan sebuah lagu yang menceritakan seorang pengorbanan dan kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya. Dalam lagu itu pula, Iwan Fals kemudian menyebutkan bahwa jasa ibu itu takkan pernah bisa dibalas oleh sang anak.

Hari ini, tanggal 22 Desember merupakan Hari Ibu yang diperingati oleh semesta negeri ini. Berbicara mengenai Hari Ibu, maka kita kembali ke masa silam, tepatnya 50 tahun lalu pada tahun 1959 ketika presiden Soekrano menetapkan tanggal tersebut sebagai hari Nasional.

Berawal dari bertemunya para pejuang wanita yang mengadakan kongres perempuan pada tahun 1928. Organisasi perempuan sendiri sebenarnya sudah lahir sejak tahun 1912. Kongres organisasi-organisasi perempuan pertama kali diadakan di Yokyakarta pada tanggal 22 Desember 1928. Kongres tersebut dikenal sebagai kongres perempuan namun kongres tersebut lebih dikenal sebagai Kongres Wanita Indonesia (Kowani).

Selanjutnya kongres serupa diadakan di Jakarta dan Bandung. Pada tahun 1950, pertama kalinya wanita menjadi menteri. Yang menjadi menteri pada waktu itu adalah Maria Ulfa. Momen tersebut merupakan momen yang sanagt penting bagi kaum perempuan. Pada masa pra kemerdekaan, kongres peempuan sangat berperan aktif dalam perjuangan kemerekaan serta terlibat dalam pergerakan internasional.

Dengan demikian menjadi jelaslah, Hari Ibu adalah Hari Kebangkitan Perempuan Indonesia serta merupakan persatuan dan kesatuan kaum perempuanyang tidak terpisahkan dari kebangkitan dan perjuangan bangsa.

Dan kembali ke masa sekarang, Hari ibu seakan-akan hanya dimaknai dalam hal peran domestik (kasur, dapur, sumur dan mengurus anak) sebagaimana yang diungkapkan olehs eorang pengamat sosial Aryanto Abidin. Misalnya saja, karena bertepatan dengan hari ibu, maka kita ramai-ramai memberikan penghormatan dengan membebas tugaskan ia dari rutinitas domestik. Padahal, itu hanyalah simbolis yang tanpa makna, bahkan terkesan ada unsur kasihannya.

Hal ini semakin diperparah lagi, jika kita menyimak dengan ketelitian bahwa momenhari ibu dan juga hari kartini tidak lagi dimaknai secara esensi atau spirit yang melatar belakangi lahirnya sejarah tersebut. Justru yang terjadi sebaliknya, perayaan-perayaan tersebut justru dimaknai hanya sebatas seremonial tahunan dan hanya bersifat simbolik saja. Lomba memasak, lomba hias penganten, lomba dance, lomba berkebaya, lomba mirip perempuan oleh waria, yang kesemuanya itu merupakan ritual simbolik yang sering kita lihat di berbagai pelosok daerah.

Peringatan Hari Ibu, sebenarnya dimaksudkan senantiasa mengingatkan seluruh rakyat Indonesia terutama generasi muda, akan makna Hari Ibu sebagai hari kebangkitan dan perjuangan wanita yang tidak terpisahkan dari kebangkitan dan perjuangan bangsa, serta untuk diwarisi api semangatnya guna senantiasa mempertebal tekad untuk melanjutkan perjuangan nasional menuju terwujudnya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pertanyaannya, mungkinkah hal itu terwujud? Adalah kewajiban kita semua dan para generasi muda untuk mewujudkan hal itu! *

read more

Selamat Tahun Baru Hijriyah 1431

0 komentar
Baru saja berlalu, umat Islam di seluruh dunia memperingati datangnya tahun baru 1431 Hijriyah. Momen itu berawal dari Hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah. Hijrahnya Nabi itulah yang menjadi awal Perubahan Sosial-Politik besar dalam kehidupan masyarakat”. Sebelum peristiwa hijrah, Nabi baru mengajar manusia tentang bagaimana agama Islam menuntun dalam permasalahan kehidupan spiritual-ritual-akhlak pribadi. Setelah hijrah, Nabi mengajar manusia tentang bagaimana tuntunan agama Islam itu mengelola masyarakat sebagai suatu satuan bangsa-negara.

Tahun baru Islam atau tahun baru Hijriah kali ini mendahului tahun baru Masehi, meski hampir berdekatan, yaitu tepatnya pada tanggal 18 Desember 2009, jatuh sebagai tanggal 1 Muharram 1431 H. Pada permulaan tahun Islam ini, banyak peristiwa penting, hikmah, dan keutamaan yang bisa diraih umat Islam.

Di dalam perayaannya, tentu saja akan berbeda dengan perayaan tahun baru Masehi. Islam mengisi tahun barunya dengan hal-hal yang penuh manfaat, tidak berhura-hura, apalagi dengan hal-hal yang diharamkan, seperti bermabuk-mabukan. Tahun baru Hijriah adalah masa instrospeksi, syukur, dan pencanangan program baru untuk tahun berikutnya yang lebih baik dari tahun sebelumnya.

Pada tahun baru ini, kita mensyukuri seluruh nikmat dan karunia yang telah diberikan Allah di tahun sebelumnya agar nikmat tersebut bertambah dan tidak dicabut-Nya. Betapa bencana dan berbagai masalah yang timbul belakangan ini, ini dikarenakan kita kurang bersyukur kepada Allah. Akibatnya, kekayaan alam dan berbagai karunia Allah yang telah diberikan kepada kita tidak menjadi solusi dan kenikmatan lagi, tapi malah menjadi masalah dan kekisruhan yang tiada henti.

Jika kita melakukan introspeksi, besyukur, dan membuat pencanganan program, Insya Allah di tahun yang akan datang, kita bisa menjadi lebih dewasa dalam menyikapi seluruh masalah. Kita bisa menjadi bangsa yang bermartabat, mandiri, dan damai.
Dalam konteks sekarang ini, pemaknaan hijrah tentu bukan selalu harus identik dengan meninggalkan kampung halaman seperti yang dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. dan kaum muhajirin, tetapi pemaknaan hijrah lebih kepada nilai-nilai dan semangat berhijrah itu sendiri, karena hijrah dalam arti seperti ini tidak akan pernah berhenti.

Dalam sebuah riwayat dikisahkan, ada seorang yang mendatangi Rasulullah dan berkata: wahai Rasulullah, saya baru saja mengunjungi kaum yang berpendapat bahwa hijrah telah telah berakhir, Rasulullah bersabda:”Sesungguhnya hijrah itu tidak ada hentinya, sehingga terhentinya taubat, dan taubat itu tidak ada hentinya sehingga matahari terbit dari sebelah barat”. Hijrah juga bukan hanya pindah dari suatu tempat ke tempat lainnya. Tapi makna hijrah secara luas adalah perubahan, termasuk perubahan pola pikir dalam menempuh perjalanan hidup di dunia ini.

Untuk itu, mari kita jadikan makna hijrah dengan semangat menyambut masa yang akan datang dengan penuh harapan, kita yakin bahwa sehabis gelap akan terbit terang, setelah kesusahan akan datang kemudahan dan kita yakin bahwa pagi pasti akan datang walaupun malam terasa begitu lama dan panjang. Karena roda kehidupan selalu berputar dan tidak mungkin berhenti.

Demikian juga dengan upaya untuk meninggalkan segala bentuk perbuatan maksiat yang sering dilakukan selama ini. Tanpa memperbaiki diri dan meninggalkan perbuatan buruk atau kurang bermanfaat yang sering dilakukan selama ini, maka nilai hijrah yang terkandung dalam pergantian tahun Islam itu tidak berarti sama sekali. Berarti, perayaan tahun baru Islam selama ini terjebak formalitas semata. *

read more

Jumat, 18 Desember 2009

Pemekaran Wilayah Diperketat Jangan Hanya Sekedar Wacana

Jumat, 18 Desember 2009
0 komentar
Dengan luas wilayah yang hampir setara dengan 20 negara Eropa Barat, satu-satunya pilihan untuk mengelola pemerintahan Negara Indonesia adalah dengan cara desentralisasi. Kebijakan desentralisasi ini melahirkan manifestasi pembentukan daerah otonomi yang diberi sebagian wewenang oleh pemerintah pusat untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya sendiri.

Dengan adanya kebijakan ini sejak satu dekade lalu, pemekaran daerah seolah tak terbendung lagi. Jumlahnya dari tahun ke tahun meningkat drastis. Sebagai contoh, pada era pemerintahan Presiden B.J. Habibie (1998-1999) tercatat hanya ada 45 daerah otonom baru (DOB). Jumlah itu meningkat menjadi 103 DOB di era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid dan Megawati (2000-2004) dan pada era Susilo Bambang Yudhoyono (2005-2008) terdapat 57 DOB. Total sejak tahun 1998, jumlah provinsi yang awalnya 27 menjadi 33 provindsi dan kabupaten/kota jadi 496 buah. Hal ini menunjukkan bahwa semangat pemekaran dari waktu ke waktu semakin tinggi.

Gencarnya pembentukan daerah otonom tak terlepas dari sejumlah hasil positif yang dicapai, diantaranya membuka lapangan pekerjaan karena adanya pembangunan sarana dan prasarana pemerintahan serta infrastruktur, mengalirnya dana perimbangan sehingga menyebabkan bertumbuh dan berkembangnya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi, memudahkan masyarakat mendapatkan pelayanan publik, serta terciptanya peningkatan sarana sekolah maupun tenaga pengajar di berbagai tingkat pendidikan.

Meskipun demikian, selain nilai positif, pembentukan daerah otonom juga telah menimbulkan dampak negatif. Misalnya saja perwujudan kesejahteraan masyarakat, pelayanan publik, dan daya saing daerah, baik kepada daerah otonom baru maupun kepada daerah induk masih rendah, menurunnya alokasi riil DAU bagi daerah lain yang tersebar secara proporsional kepada seluruh daerah di Indonesia karena bertambahnya jumlah daerah, memberatkan beban keuangan negara karena adanya penambahan kantor-kantor vertikal seperti Kantor Kepolisian, Kodim, kantor Wilayah Departemen Agama, Pengadilan, Kejaksaan, Bea dan Cukai, Pajak, dan lain-lain, serta juga menimbulkan persoalan batas wilayah.

Atas dasar itulah kiranya Mendagri Gamawan Fauzi merasa perlu untuk meneruskan bengkalai pekerjaan Mendagri sebelumnya Mardiyanto yang belum lagi selesai, yakni melakukan perketatan pembentukan daerah otonom baru. Mendagri mengatakan persyaratan untuk pengajuan daerah otonom baru yang ada saat ini sudah harus diperbarui dan dibuat lebih mendetilagar tujuan pemekaran wilayah untuk mencapai kesejahteraan rakyat dapat terwujud.

Agaknya Mendagri harus benar-benar mewujudkan hal tersebut agar tidak menjadi wacana dan retorika belaka. Pasalnya, pembentukan daerah otonom baru atau pemekaran wilayah sebenarnya banyak yang tidak terlepas dari unsur politis kepentingan pihak-pihak tertentu. Misalnya saja pihak yang hanya ingin mengejar jabatan kepala daerah atau jabatan politis lainnya seperti anggota DPRD.

Bahkan, masih melekat kuat dalam ingatan kita tragedi tewasnya Ketua DPRD Sumatera Utara, Abdul Azis Angkat yang tewas ‘dikeroyok’ massa yang menuntut pembentukan daerah otonom Tapanuli Utara.

Oleh karena itu, marilah kita sama-sama sepakat bahwa perlunya evaluasi menyeluruh terhadap daerah otonom baru, terutama daerah otonom yang berkinerja rendah. Daerah-daerah tersebut kemudian diberikan pembinaan agar dapat meningkatkan kinerjanya.
Jika dalam tiga tahun setelah diberikan pembinaan, daerah otonom tetap menunjukkan kinerja yang rendah maka akan dipertimbangkan untuk penghapusan atau digabung dengan daerah induk.

Kalau pemekaran terjadi dan tidak akan membawa kesejahteraan rakyat buat apa pemekaran itu dilakukan. Justru ini hanya mungkin menjawab aspirasi sedikit orang, padahal rakyat sendiri yang akan menerima akibat dari pemekaran. *

read more

Ketika Pelajar SD Unjuk Rasa

0 komentar
Aksi demonstrasi dan unjuk rasa ternyata tidak hanya didominasi oleh kalangan mahasiswa saja. Buktinya, aksi menyampaikan orasi secara massal itu juga sudah melanda kalangan pelajar Sekolah Dasar (SD). Hal itu terjadi di Kota Padang pada Rabu (16/12) kemarin. Ratusan pelajar Sekolah Dasar (SD) dari 11 SD di Kota Padang melakukan unjukrasa di halaman Kantor Gubernur Sumbar, Jl. Sudirman Padang.

Uniknya, meski yang melakukan unjuk rasa adalah siswa SD namun tampaknya pihak kepolisian tidak mau ambil resiko. Buktinya, polisi tetap menyiagakan sejumlah personil yang dilengkapi dengan mobil anti huru-hara untuk mengawal aksi anak-anak ini. Berbeda dengan aksi unjukrasa mahasiswa atau orang dewasa, aksi anak-anak ini tentu saja penuh dengan canda tawa antara mereka. Bahkan sambil berunjukrasa, mereka bermain dan bernyanyi. Mereka baru bersorak ketika pembimbing mereka memberi aba-aba sesuai petunjuk yang telah diberikan.

Setidaknya ada dua poin penting yang ingin disampaikan para pendemo dalam aksi demonstrasi tersebut, yaitu meminta pemprov agar membangun kembali sekolah yang rubuh dengan memperhatikan aspek konstruksi bangunan tahan gempa dan yang kedua meminta pemerintah agar memasukkan pengetahuan tentang kesiagaan terhadap bencana dalam kurikulum.

Apa yang disampaikan dalam aksi tersebut memang patut mendapat apresiasi. Jika melihat kondisi sekarang ini masih ada sekolah yang melangsungkan proses belajar mengajar di tenda-tenda darurat. Hal itu tentu sangat riskan sekali dalam menciptakan efektifitas transfer ilmu kepada para pelajar. Di samping itu, kondisi yang demikian juga membuat persiapan dalam menghadapi UN sedikit banyaknya akan mengalami gangguan.

Oleh karena itu, hendaknya pemprov Sumbar, khususnya Gubernur dan pejabat terkait yang menjadi ‘sasaran’ pendemo menyerap aspirasi yang disampaikan oleh ratusan pelajar itu. Hal itu penting demi kelangsungan dunia pendidikan di Sumatera Barat.

Selain itu, meskipun kita tahu bahwa pemprov Sumbar sudah disibukkan oleh berbagai persoalan terutama menyangkut pascabencana, namun jangan sampai apa yang disampaikan oleh para pelajar itu menjadi sia-sia. Pemerintah jangan lamban dalam merespon keinginan anak-anak kita itu. Guebrnur Marlis Rahman harus membuktikan bahwa dirinya adalah seorang pemimpin yang benar-benar mampu menampung dan menyerap aspirasi warga Sumbar, meskipun itu aspirasi anak-anak SD.

Terlepas dari hal itu, ada hal menarik dari aksi unjuk rasa anak SD itu yang terungkap dari perkataan Humas Kogami Sumbar Dian Noviani. Dia mengatakan bahwa aksi itu adalah inisiatif Kogami Sumbar yang bertujuan untuk membudayakan siaga bencana di Sumbar.

Pertanyaannya, apakah wajar anak SD dikerahkan untuk melakukan aksi unjuk rasa tersebut? Semestinya yang ‘diajak’ untuk melakukan aksi massal tersebut adalah orang-orang dewasa yang benar-benar mengerti persoalan. Apalagi jika menyangkut soal kurikulum. Tentulah yang sepantasnya menyampaikan hal tersebut kepada pemerintah adalah para pakar di bidang itu.

Bahkan, dalam demo tersebut ternyata juga dikawal oleh aparat kepolisian yang dilengkapi mobil anti huru hara? Apakah tidak terpikirkans ebelumnya jika anak-anak itu melihat petugas anti huru hara tersebut? Bisa-bisa hal tersebut memberikan dampak psikologis dalam diri anak-anak tersebut.

Oleh karena itu, hendaknya aksi-aksi yang melibatkan anak SD perlu dipertimbangkan lebih jauh lagi untuk kedepannya. Jika ingin menyampaikan usulan atau aspirasi kepada pemerintah sampaikan saja langsung, janganlah ‘bertamengkan’ anak-anak yang masih kecil tanpa dosa dan mungkin mereka sendiri tidak tahu apa yang mereka unjukrasakan itu. *.

read more

Perampokan Senpi Marak, Polisi Tak Berdaya?

0 komentar
Aksi perampokan yang para pelakunya menggunakan senjata api (senpi) kembali marak di Sumatera Barat. Selama dua hari berturut-turut Kota Padang diguncang aksi perampokan menggunakan senjata api (senpi). Perampokan pertama terjadi di komplek Poltekkes Siteba pada Minggu dinihari (13/12) lalu. Dalam kejadian ini, kawanan perampok berhasil menggondol ATM milik BNI setelah melumpuhkan satpam dan sejumlah mahasiswa yang pada saat itu berada di tempat kejadian.

Selang sehari setelahnya, perampokan menggunakan senpi kembali terjadi. Kali ini toko ‘Sumber Terang’ di kawasan Kampung Nias Padang, yang menjadi sasaran pelaku pada Senin (14/12). Dengan berpura-pura hendak menjadi pembeli, para perampok berhasil melumpuhkan pemilik toko dan menguras isinya. Total kerugian akibat perampokan ini mencapai ratusan juta rupiah.

Dua kejadian beruntun ini tentu sangat mengejutkan kita. Betapa tidak amannya kondisi di Kota Padang saat ini. Perampok merajalela menindas rakyat, bahkan dengan menggunakan senjata api yang semestinya hanya boleh digunakan oleh aparat kepolisian dan TNI. Itupun harus melalui izin dan prosedur.

Tapi, yang terjadi dalam beberapa hari terakhir ini sungguh membuat hati kita menjadi ngilu. Para perampok sangat leluasa menggunakan senjata api dalam menjarah harta rakyat. Bahkan, perampokan menggunakan senpi yang terjadi di kawasan Kampung Nias terjadi di penghujung senja, saat situasi masih ramai dan belum larut. Ini menandakan bahwa para perampok itu sudah semakin berani, dan nekad!

Dua kejadian perampokan bersenpi dalam dua hari beruturt-turut ini merupakan sebuah tantangan besar bagi jajaran Polda Sumbar, khususnya Poltabes Padang. Aksi kriminal itu terjadi di wilayah hukum Poltabes Padang dan sudah semestinyalah pihak kepolisian benar-benar menyikapi kejadian ini dengan sangat serius.

Peristiwa ini juga ujian bagi pihak kepolisian, sejauh mana polisi mampu mengungkap aktor dan pelaku di balik aksi perampokan bersenpi itu. Polisi harus bergerak cepat dan berpacu dengan waktu agar kejadian serupa tidak terulang untuk ketiga kalinya. Sudah cukup dua kali polisi ‘kecolongan’ jangan sampai polisi ‘dikangkangi’ lagi oleh para perampok itu.

Inilah salah satu ujian bagi Kapolda yang Baru Kombes Pol Andayono dalam mengungkap aksi kejahatan di wilayah kerjanya meski baru beberapa bulan menjabat di Ranah Minang. Niscaya, jika kedua kejadian ini berhasil diungkap, maka pujian dan apresiasi dari rakyat Minangkabau akan bertubi-tubi datang kepada Andayono. Tanpa merendahkan kerja keras polisi, sebaliknya, tentu kita tidak menginginkan adanya ‘nada miring’ dari masyarakat kelak jika kasus ini tidak terungkap atau malah terulang kembali.

Tentu, keamanan di Sumbar bukan hanya menjadi tanggungjawab pihak kepolisian saja. Kita sebagai warga masyarakat juga memiliki kewajiban untuk menjaga keamanan, terutama di lingkungan tempat tinggal kita masing-masing. Oleh karena itu, dengan adanya kejadian ini hendaknya menjadi momentum bagi kita semua untuk kembali menggiatkan sistem keamanan lingkungan atau siskamling.

read more
 
Copyright © Vox Populi Vox Dei | Powered by Blogger | Template by Blog Go Blog