Uniknya, meski yang melakukan unjuk rasa adalah siswa SD namun tampaknya pihak kepolisian tidak mau ambil resiko. Buktinya, polisi tetap menyiagakan sejumlah personil yang dilengkapi dengan mobil anti huru-hara untuk mengawal aksi anak-anak ini. Berbeda dengan aksi unjukrasa mahasiswa atau orang dewasa, aksi anak-anak ini tentu saja penuh dengan canda tawa antara mereka. Bahkan sambil berunjukrasa, mereka bermain dan bernyanyi. Mereka baru bersorak ketika pembimbing mereka memberi aba-aba sesuai petunjuk yang telah diberikan.
Setidaknya ada dua poin penting yang ingin disampaikan para pendemo dalam aksi demonstrasi tersebut, yaitu meminta pemprov agar membangun kembali sekolah yang rubuh dengan memperhatikan aspek konstruksi bangunan tahan gempa dan yang kedua meminta pemerintah agar memasukkan pengetahuan tentang kesiagaan terhadap bencana dalam kurikulum.
Apa yang disampaikan dalam aksi tersebut memang patut mendapat apresiasi. Jika melihat kondisi sekarang ini masih ada sekolah yang melangsungkan proses belajar mengajar di tenda-tenda darurat. Hal itu tentu sangat riskan sekali dalam menciptakan efektifitas transfer ilmu kepada para pelajar. Di samping itu, kondisi yang demikian juga membuat persiapan dalam menghadapi UN sedikit banyaknya akan mengalami gangguan.
Oleh karena itu, hendaknya pemprov Sumbar, khususnya Gubernur dan pejabat terkait yang menjadi ‘sasaran’ pendemo menyerap aspirasi yang disampaikan oleh ratusan pelajar itu. Hal itu penting demi kelangsungan dunia pendidikan di Sumatera Barat.
Selain itu, meskipun kita tahu bahwa pemprov Sumbar sudah disibukkan oleh berbagai persoalan terutama menyangkut pascabencana, namun jangan sampai apa yang disampaikan oleh para pelajar itu menjadi sia-sia. Pemerintah jangan lamban dalam merespon keinginan anak-anak kita itu. Guebrnur Marlis Rahman harus membuktikan bahwa dirinya adalah seorang pemimpin yang benar-benar mampu menampung dan menyerap aspirasi warga Sumbar, meskipun itu aspirasi anak-anak SD.
Terlepas dari hal itu, ada hal menarik dari aksi unjuk rasa anak SD itu yang terungkap dari perkataan Humas Kogami Sumbar Dian Noviani. Dia mengatakan bahwa aksi itu adalah inisiatif Kogami Sumbar yang bertujuan untuk membudayakan siaga bencana di Sumbar.
Pertanyaannya, apakah wajar anak SD dikerahkan untuk melakukan aksi unjuk rasa tersebut? Semestinya yang ‘diajak’ untuk melakukan aksi massal tersebut adalah orang-orang dewasa yang benar-benar mengerti persoalan. Apalagi jika menyangkut soal kurikulum. Tentulah yang sepantasnya menyampaikan hal tersebut kepada pemerintah adalah para pakar di bidang itu.
Bahkan, dalam demo tersebut ternyata juga dikawal oleh aparat kepolisian yang dilengkapi mobil anti huru hara? Apakah tidak terpikirkans ebelumnya jika anak-anak itu melihat petugas anti huru hara tersebut? Bisa-bisa hal tersebut memberikan dampak psikologis dalam diri anak-anak tersebut.
Oleh karena itu, hendaknya aksi-aksi yang melibatkan anak SD perlu dipertimbangkan lebih jauh lagi untuk kedepannya. Jika ingin menyampaikan usulan atau aspirasi kepada pemerintah sampaikan saja langsung, janganlah ‘bertamengkan’ anak-anak yang masih kecil tanpa dosa dan mungkin mereka sendiri tidak tahu apa yang mereka unjukrasakan itu. *.
0 komentar:
Posting Komentar